Saya pernah menanyakan perihal tafsir "li diinihaa", karena agamnya, pada teman saya. Dia menjelaskan dengan panjang lebar. Karena menurut saya kata "li diinihaa" masih sangat umum dan luas. Lepas dari tafsiran mengenai kata itu. Menurut saya sangat sulit menerapkan hadits tersebut dalam kehidupan. Mungkin karena kita terlanjur banyak dosa. Gak usah ngomong li diinihaa dulu, kita baca saja fakta yang terjadi lebih dulu dalam keputusan, perbuatan atau dalam pertimbangan dalam pikiran kita. Kalau kita lihat cewek, jika kita berorientasi untuk mencari jodoh atau pasangan unsur apanya yang kita lihat lebih dulu atau yang kita prioritaskan? Merdu suaranya? Putih dan cantik wajahnya? Atau bawah wajahnya? Atau tingkat kekayaan keluarganya? Atau apa?
Untuk tidak melihat hal-hal tersebut lebih dulu atau tidak memprioritaskannya menurut saya sangat sulit. Misal saja ada foto 10 wanita yang kita belum kenal, terus kita di tawari mau kenalan sama yang mana? Hati dan pikiran mesti condong pada yang wajah cantik dan berkulit putih lebih dulu. Padahal cantiknya wajah tentunya tidak berkaitan dengan sikap sosial atau diinihaanya. Apalagi sekarang banyak foto yang menipu. Banyak kamera yang jahat membuat fitnah di mana-mana.
Kalau misal memilihkan orang lain mungkin akan lebih mudah. Kita bisa menilai lebih objektif dengan parameter li diinihaa. Tapi kalau untuk diri sendiri? Api berkobar.
Lalu bagaimana? Apakah memang seperti kata orang, entah ada dalilnya atau tidak, "jodoh adalah cerminan diri". Jika kita memilih si Markonah sebagai pendamping, saat belum menikah kita yakin dia yang terbaik, setelah menikah kita mengeluh, "cantiknya hanya polesan, pemarah, doyan duwit dan lain-lain". Itu mencerminkah watak kita sendiri yang memprioritaskan keduniaan terutama keinginan bawah perut.
Lalu bagimana memilih?
Allahummahdinaa yaa Hadii...
Dawung, 6 April 2020